TIGARAKSA-Gubernur Banten membuat instruksi agar semua tempat wisata di Banten ditutup. Karena berpotensi menjadi klaster baru Covid-19. Penyebabanya di tempat wisata sulit mencegah kerumunan. Sementara tempat umum yang juga sering terjadi kerumunan, pusat perbelanjaan atau mal, tidak ditutup.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang Adib Miftahudin menilai pemerintah daerah (pemda) dinilai tidak adil terhadap ekonomi kerakyatan yakni usaha kecil menengah (UKM). Menurutnya, di tempat wisata inilah menjadi pusat ekonomi kerakyatan. Khususnya di Tangerang. Banyak pedagang yang menggantungkan hidupnya dari berjualan di tempat wisata.
Ia menuturkan, terjadi sikap kontradiktif pemerintah tentang kebijakan penanganan Covid-19 di masa Lebaran. Yakni, dengan adanya pelarangan mudik, tapi tempat wisata boleh buka. Di mana, pada praktiknya terjadi kerumunan di lokasi wisata yang membuat pemerintah menutup hingga 30 Mei. Namun, penutupan tempat wisata tidak terjadi di pusat perbelanjaan yang menurut Adib juga menimbulkan kerumunan.
“Sudah banyak contoh, yang terakhir mudik dilarang, wisata dibuka yang berimbas kerumunan. Akhirnya tempat wisata ditutup. Tetapi ternyata pusat perbelanjaan atau mal masih dibuka. Saya melihat ketika pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang pada intinya membatasi penularan Covid-19 karena ada kerumunan, saya kira atas nama PPKM mal harusnya ditutup. Tetapi mungkin pertimbangan pemerintah berbeda. Ini yang saya kira kontradiktif,” paparnya ketika diwawancarai Tangerang Ekspres, Selasa (18/5).
Menurutnya, sikap pemda menutup tempat wisata ada sisi ketidakadilan yang dirasakan penggiat ekonomi kerakyatan, di sisi lain. Ia menuding, pemerintah menganakemaskan mal atau pusat perbelanjaan. Sebab, pemerintah percaya pengelola mal memiliki infrastruktur yang bisa mengontrol protokol kesehatan (prokes).
“Tetapi dari realitas yang ada saya tidak yakin bahwa seluruh mal bisa dipercaya soal itu (prokes -red). Kerumunan tetap terjadi. Tengoklah mal di Tangerang, apakah mereka mentaati prokes, misalnya standar kapasitas maksimal 50 persen, saya kira tidak. Kalau pengunjung dicek suhu tubuh, iya. Tetapi di sisi lain pemenuhan pengunjung, saya kira melebihi (kapasitas -red),” sebutnya.
Ia mengatakan, pemerintah perlu menilik jauh akan sumber daya manusia yang dimiliki mal. Sehingga, kata dia, sikap pemerintah menutup tempat wisata menciderai keadilan pelaku ekonomi kerakyatan.
“Mal dibuka, wisata ditutup. Saya kira pemerintah yang tidak mampu mengerahkan infrastruktur sumber daya manusia, atas nama untuk menjaga prokes. Memang kenapa, kalau wisata dibuka tetapi prokes juga dijaga. Mereka kan (pengelola wisata -red) punya sumber daya manusia untuk menjaga prokes. Ternyata, memang pemerintah tidak mampu untuk itu,” katanya.
Ia menilai, masalah akan penerapan prokes di lokasi wisata sederhana, apabila sebelumnya pemerintah getol melakukan sosialisasi dan edukasi kepada pengelola wisata. Menurutnya, karena tidak adanya proses sosialisasi dan edukasi prokes di lokasi wisata membuat masyarakat pengelola tidak mempunyai literasi yang cukup tentang penerapan prokes.
“Ketika ketegasan dilakukan petugas di area wisata saya kira tidak akan berjubel. Kerumunan terjadi karena petugas tidak tegas, pengunjung dibiarkan berjubel dan akhirnya wisata ditutup. Jangan mengandalkan infrastruktur mandiri yang dimiliki masyarakat (pengelola wisata -red). Kalau mal, iya kita tahu yang punya konglomerat tingkat tinggi dan sudah lengkap sumber daya manusianya. Tetapi negara harus hadir dong, pada mereka pelaku usaha kecil di wisata,” sebutnya.
“Sederhana saya kira, kalau wisata di Banten betul ekonomi kerakyatan. Karena itu, saya sebut pemerintah daerah terlihat lebih menganakemaskan mal karena tidak perlu capek-capek, mal punya sisi sumber daya manusia, soal keamanan dan sebagainya secara mandiri. Tetapi, soal wisata di Banten dan khususnya Tangerang memang ekonomi kerakyatan. Bahwa mereka ada yang jualan, ada yang jadi tukang parkir dan sebagainya,” imbuhnya.
Ia menilai, langkah pemerintah daerah dengan imbauan kepada warga tentang prokes di lokasi wisata kurang efektif. “Biasanya, pemerintah daerah spesialis hanya mengimbau, biar keliatan kerja saja. Kan tidak bisa seperti itu. Coba, misalnya, di tempat wisata ada petugas dari unsur kelurahan, kecamatan, dinas perhubungan, polisi dan TNI berpatroli di sana atau menjaga tempat wisata, kapasitas 50 persen diterapkan dan tetap dibuka. Saya kira akan berbeda,” paparnya.
Menurutnya, masalah implementasi peraturan di lapangan tentang protokol kesehatan kurang berjalan efektif. Sebab, sebelumnya tidak dibarengi dengan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat pengelola wisata. “Hanya mengimbau, yang ada polisi menjaga lalu lintas, dishub ikut membantu. Kan tidak bisa seperti itu. Kalau petugas ada di satu lokasi, dijaga petugas dari berbagai unsur diterapkan protokol kesehatan, ini baru namanya bagaimana membantu ekonomi kerakyatan. Ketika mereka (pengelola wisata -red) tidak menjaga secara utuh. Tiba-tiba saja ditutup berarti negara maunya menang sendiri. Kalau penanganan Covid-19 hanya mengandalkan dari kesadaran warga saya kira tidak bisa. Maka, diperlukan sebuah regulasi dan implementasi tegas di lapangan itu salah satu kuncinya,” pungkasnya.
Sementara, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Tangerang Hendra Tarmidzi mengatakan, latarbelakang pemerintah mengizinkan mal beroperasi dikarenakan secara infrastruktur sudah siap melaksanakan protokol kesehatan. “Untuk di mal jumlah pengunjung masih bisa dikendalikan. Sedangkan, di tempat wisata tidak bisa dikendalikan,” ujarnya.
Penutupan tempat wisata di Kota Tangsel tidak terlalu berdampak geliat ekonomi. Diakui Walikota Tangsel Benyamin Davnie, sektor pariwisata menjadi salah satu faktor dalam meningkatkan perekonomian di daerah.
“Tempat wisata memang salah satu poin untuk menumbuhkan ekonomi. Tapi, di luar itu masih ada instrumen lainnya,” ujarnya kepada Tangerang Ekspres, Selasa (18/5).
Pek Ben menambahkan, destinasi wisata Kota Tangsel tidak mengkhawatirkan. Maka destinasi wisata yang ditutup hanya wisata air. “Kebetulan Tangsel kan wisatanya tidak termasuk wisata yang dikhawatirkan oleh banyak pihak termasuk pak gubernur,” tambahnya.
Masih menurutnya, belum lama ini pihaknya telah melakukan penutupan tempat tempat wisata air. “Kenapa wisata air kita tutup karena, pengunjung tentu tidak pakai masker,” jelasnya.
Pak Ben menjelaskan, Senin kemarin telah mengikuti zoom meeting bersama Presiden Joko Widodo. Dalam zoom meeting tersebut, dibahas soal perkembangan Covid-19 pasca mudik Lebaran Idul Fitri.
“Kemarin arahan Presiden intinya daerah harus mencermati betul perkembangan Covid terutama pasca mudik Lebaran,” ungkapnya.
Mantan birokrat Pemkab Tangerang ini menuturkan, selain harus mencermati perkembangan Covid-19 di daerah-daerah, Jokowi juga meminta kepada daerah-daerah agar melakukan aktivitas untuk meningkatkan perekonomian masing-masing.
“Presiden juga minta daerah melakukan berbagai aktivitas untuk menghidupkan kembali roda ekonomi,” ungkapnya.
Termasuk yang awalnya pertumbuhannya 0,36 persen, presiden meminta di kuartal kedua tahun 2021 ini dan Indonesia harus tumbuh sampai 7 persen. “Jadi kita harus melakukan berbagai macam intervensi APBD terhadap ekonomi,” tutupnya. (sep/bud)
TIGARAKSA-Gubernur Banten membuat instruksi agar semua tempat wisata di Banten ditutup. Karena berpotensi menjadi klaster baru Covid-19. Penyebabanya di tempat wisata sulit mencegah kerumunan. Sementara tempat umum yang juga sering terjadi kerumunan, pusat perbelanjaan atau mal, tidak ditutup.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang Adib Miftahudin menilai pemerintah daerah (pemda) dinilai tidak adil terhadap ekonomi kerakyatan yakni usaha kecil menengah (UKM). Menurutnya, di tempat wisata inilah menjadi pusat ekonomi kerakyatan. Khususnya di Tangerang. Banyak pedagang yang menggantungkan hidupnya dari berjualan di tempat wisata.
Ia menuturkan, terjadi sikap kontradiktif pemerintah tentang kebijakan penanganan Covid-19 di masa Lebaran. Yakni, dengan adanya pelarangan mudik, tapi tempat wisata boleh buka. Di mana, pada praktiknya terjadi kerumunan di lokasi wisata yang membuat pemerintah menutup hingga 30 Mei. Namun, penutupan tempat wisata tidak terjadi di pusat perbelanjaan yang menurut Adib juga menimbulkan kerumunan.
“Sudah banyak contoh, yang terakhir mudik dilarang, wisata dibuka yang berimbas kerumunan. Akhirnya tempat wisata ditutup. Tetapi ternyata pusat perbelanjaan atau mal masih dibuka. Saya melihat ketika pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang pada intinya membatasi penularan Covid-19 karena ada kerumunan, saya kira atas nama PPKM mal harusnya ditutup. Tetapi mungkin pertimbangan pemerintah berbeda. Ini yang saya kira kontradiktif,” paparnya ketika diwawancarai Tangerang Ekspres, Selasa (18/5).
Menurutnya, sikap pemda menutup tempat wisata ada sisi ketidakadilan yang dirasakan penggiat ekonomi kerakyatan, di sisi lain. Ia menuding, pemerintah menganakemaskan mal atau pusat perbelanjaan. Sebab, pemerintah percaya pengelola mal memiliki infrastruktur yang bisa mengontrol protokol kesehatan (prokes).
“Tetapi dari realitas yang ada saya tidak yakin bahwa seluruh mal bisa dipercaya soal itu (prokes -red). Kerumunan tetap terjadi. Tengoklah mal di Tangerang, apakah mereka mentaati prokes, misalnya standar kapasitas maksimal 50 persen, saya kira tidak. Kalau pengunjung dicek suhu tubuh, iya. Tetapi di sisi lain pemenuhan pengunjung, saya kira melebihi (kapasitas -red),” sebutnya.
Ia mengatakan, pemerintah perlu menilik jauh akan sumber daya manusia yang dimiliki mal. Sehingga, kata dia, sikap pemerintah menutup tempat wisata menciderai keadilan pelaku ekonomi kerakyatan.
“Mal dibuka, wisata ditutup. Saya kira pemerintah yang tidak mampu mengerahkan infrastruktur sumber daya manusia, atas nama untuk menjaga prokes. Memang kenapa, kalau wisata dibuka tetapi prokes juga dijaga. Mereka kan (pengelola wisata -red) punya sumber daya manusia untuk menjaga prokes. Ternyata, memang pemerintah tidak mampu untuk itu,” katanya.
Ia menilai, masalah akan penerapan prokes di lokasi wisata sederhana, apabila sebelumnya pemerintah getol melakukan sosialisasi dan edukasi kepada pengelola wisata. Menurutnya, karena tidak adanya proses sosialisasi dan edukasi prokes di lokasi wisata membuat masyarakat pengelola tidak mempunyai literasi yang cukup tentang penerapan prokes.
“Ketika ketegasan dilakukan petugas di area wisata saya kira tidak akan berjubel. Kerumunan terjadi karena petugas tidak tegas, pengunjung dibiarkan berjubel dan akhirnya wisata ditutup. Jangan mengandalkan infrastruktur mandiri yang dimiliki masyarakat (pengelola wisata -red). Kalau mal, iya kita tahu yang punya konglomerat tingkat tinggi dan sudah lengkap sumber daya manusianya. Tetapi negara harus hadir dong, pada mereka pelaku usaha kecil di wisata,” sebutnya.
“Sederhana saya kira, kalau wisata di Banten betul ekonomi kerakyatan. Karena itu, saya sebut pemerintah daerah terlihat lebih menganakemaskan mal karena tidak perlu capek-capek, mal punya sisi sumber daya manusia, soal keamanan dan sebagainya secara mandiri. Tetapi, soal wisata di Banten dan khususnya Tangerang memang ekonomi kerakyatan. Bahwa mereka ada yang jualan, ada yang jadi tukang parkir dan sebagainya,” imbuhnya.
Ia menilai, langkah pemerintah daerah dengan imbauan kepada warga tentang prokes di lokasi wisata kurang efektif. “Biasanya, pemerintah daerah spesialis hanya mengimbau, biar keliatan kerja saja. Kan tidak bisa seperti itu. Coba, misalnya, di tempat wisata ada petugas dari unsur kelurahan, kecamatan, dinas perhubungan, polisi dan TNI berpatroli di sana atau menjaga tempat wisata, kapasitas 50 persen diterapkan dan tetap dibuka. Saya kira akan berbeda,” paparnya.
Menurutnya, masalah implementasi peraturan di lapangan tentang protokol kesehatan kurang berjalan efektif. Sebab, sebelumnya tidak dibarengi dengan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat pengelola wisata. “Hanya mengimbau, yang ada polisi menjaga lalu lintas, dishub ikut membantu. Kan tidak bisa seperti itu. Kalau petugas ada di satu lokasi, dijaga petugas dari berbagai unsur diterapkan protokol kesehatan, ini baru namanya bagaimana membantu ekonomi kerakyatan. Ketika mereka (pengelola wisata -red) tidak menjaga secara utuh. Tiba-tiba saja ditutup berarti negara maunya menang sendiri. Kalau penanganan Covid-19 hanya mengandalkan dari kesadaran warga saya kira tidak bisa. Maka, diperlukan sebuah regulasi dan implementasi tegas di lapangan itu salah satu kuncinya,” pungkasnya.
Sementara, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Tangerang Hendra Tarmidzi mengatakan, latarbelakang pemerintah mengizinkan mal beroperasi dikarenakan secara infrastruktur sudah siap melaksanakan protokol kesehatan. “Untuk di mal jumlah pengunjung masih bisa dikendalikan. Sedangkan, di tempat wisata tidak bisa dikendalikan,” ujarnya.
Penutupan tempat wisata di Kota Tangsel tidak terlalu berdampak geliat ekonomi. Diakui Walikota Tangsel Benyamin Davnie, sektor pariwisata menjadi salah satu faktor dalam meningkatkan perekonomian di daerah.
“Tempat wisata memang salah satu poin untuk menumbuhkan ekonomi. Tapi, di luar itu masih ada instrumen lainnya,” ujarnya kepada Tangerang Ekspres, Selasa (18/5).
Pek Ben menambahkan, destinasi wisata Kota Tangsel tidak mengkhawatirkan. Maka destinasi wisata yang ditutup hanya wisata air. “Kebetulan Tangsel kan wisatanya tidak termasuk wisata yang dikhawatirkan oleh banyak pihak termasuk pak gubernur,” tambahnya.
Masih menurutnya, belum lama ini pihaknya telah melakukan penutupan tempat tempat wisata air. “Kenapa wisata air kita tutup karena, pengunjung tentu tidak pakai masker,” jelasnya.
Pak Ben menjelaskan, Senin kemarin telah mengikuti zoom meeting bersama Presiden Joko Widodo. Dalam zoom meeting tersebut, dibahas soal perkembangan Covid-19 pasca mudik Lebaran Idul Fitri.
“Kemarin arahan Presiden intinya daerah harus mencermati betul perkembangan Covid terutama pasca mudik Lebaran,” ungkapnya.
Mantan birokrat Pemkab Tangerang ini menuturkan, selain harus mencermati perkembangan Covid-19 di daerah-daerah, Jokowi juga meminta kepada daerah-daerah agar melakukan aktivitas untuk meningkatkan perekonomian masing-masing.
“Presiden juga minta daerah melakukan berbagai aktivitas untuk menghidupkan kembali roda ekonomi,” ungkapnya.
Termasuk yang awalnya pertumbuhannya 0,36 persen, presiden meminta di kuartal kedua tahun 2021 ini dan Indonesia harus tumbuh sampai 7 persen. “Jadi kita harus melakukan berbagai macam intervensi APBD terhadap ekonomi,” tutupnya. (sep/bud)