Dugaan adanya korupsi di ruang peradilan atas pemotongan honorarium penanganan perkara (HPP) adalah hal paling menjijikkan yang menerpa peradilan di Indonesia. Betapa tidak, orang-orang yang selalu dipanggil “yang mulia” malah memulai tindakan fraud dan tidak lagi mampu jadi contoh bijaksana. Demikian disampaikan Peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) Ahmad A. Hariri, Kamis (19/9).
LSAK bersama bersama MAKI, IPW dan gerakan masyarakat sipil lainnya mendukung penuh agar persoalan ini dituntaskan. Sebab, hal ini bukan saja berdampak pada marwah lembaga, tapi juga pada penanganan perkara.
“Banyak laporan dan temuan yang kami terima, salah satunya adalah putusan ne bis in idem pada PN Pematangsiantar No. 108/Pdt.G/2023/PN Pms, junto Putusan PT Medan No. 381/Pdt/2024/PT. MDN. Padahal sebelumnya telah ditetapkan Putusan Kasasi MA No. 820 K/Pdt/2021,” terang Ahmad A. Hariri.
“Tentu ini menjadi pertanyaan, tidakkah MA melakukan pengawasan pelaksanaan SEMA No. 3 tahun 2002? Jangan-jangan penanganan perkara hanya bak kejar setoran demi honorarium dan tak lagi menimbang keadilan dan kepastian hukum? Kita berharap MA sebagai institusi peradilan tertinggi tidak bermain dalam ruang-ruang hukum acara yang hanya bertujuan mendapatkan keuntungan. Tapi harus mengedepankan kepekaan nurani dalam menjalankan tugas dan fungsinya,” paparnya.
Ahmad A. Hariri meminta MA melakukan perbaikan menyeluruh dan bukan hanya melakukan klarifikasi. Karena ini pertaruhan marwah kelembagaan.
“Jika masyarakat tak lagi percaya peradilan, maka lebur sudah hukum di negeri ini,” pungkasnya.